Sejarah Pulau Makian
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhiG2Vb4KbDIxweDQh3JPd3VwB9_E4C2247kCQgJRc4RUeoPnVg4Ck-iaOtYPxUhKVLONf2OgYoOKOar4ZvKk5yvYrfbcEu7Ti2G7clunRMizvqrwGC8DDsZaKUiLxzE__58FCLdxT17aFd/s1600/Pulau-Makian.jpg)
Suku Makeang dahulu kala dikenal dengan penyebutan “Taba” (wilayah
Timur) atau Makeang Dalam. Sementara bahasa mereka disebut bahasa Tabayama
(Zulyani Hidayah,1996). Untuk wilayah Barat (Makeang Luar) menyebutnya Pulau
‘Moi’, bahasa mereka disebut bahasa Jetine atau Desite (G.R.E. Lucardie, 1980),
kedua bahasa tersebut tergolong dalam bahasa Austronesia dan non- Austronesia
(W. Ph. Coolhaas, 1926).
Suku Makeang adalah salah satu dari puluhan kelompok etnis yang
ada di Moluccas/ Maluku (utara) saat ini. Sejak kapan sebutan Taba atau Moi
untuk pulau Makeang, baik oleh penduduk setempat maupun oleh orang asing untuk
menandai gugusan kepulauan atau suku, belum ada catatan tertulis tentang itu.
Namun diperkirakan jauh sebelum kedatangan bangsa Eropa-Portugis sudah
mengunakan sebutan kata tersebut ( Jacobs, 1971). Nampaknya penamaan untuk
pulau Makeang dalam beberapa catatan sejarah sering berbeda
penulisan/pengucapan terhadap pulau atau suku tersebut, ada yang sebut: Makyan
(Francois Valentijn, 1724), Maquiem/Maqujem, (Tomi Pires, 1944) dan Makianners
(D. G. Stibbe,1939), Makianese (de Clercq, 1890) namun belakangan banyak arsip
Belanda mengunakan kata “Makian” (J. Paulus,1917), untuk menunjukan suku atau
pulau tersebut, sehingga dalam penulisam kali ini penulis lebih mengunakan kata
Makeang untuk menunjukan etnik yang di maksud.
Nama “Makian” memperlihatkan sebuah bentuk buruk dari sebuah nama pribumi ‘Waikiong’ (de Clercq,1890). Orang Ternate dan Tidore menyebut pulau ‘Mara(h)’. Asal mula kedua nama tersebut tetap kabur, meskipun berdasarkan spekulasi kesejarahan (Coolhaas,1923). Secara historis pulau Makeang termasuk wilayah Maluku, pulau rempah-rempah yaitu Gilolo, Ternate, Tidore, Moti, Makeang dan Bacan (Valentijn, 1724). Hingga pertengahan abad ke-17, Makeang memainkan peranan paling penting dalam perdagangan rempah di Maluku. Terdapat beberapa bukti historis perdagangan awal dengan pedagang Taibencu (Cina) sebelum orang Jawa, Arab dan Eropa tersebar di wilayah Maluku. Tempat persinggahan dan pusat perdagangan pertama kali adalah pulau Makeang, karena penduduknya telah berbudaya, beradab dan luwes. Orang Taibencu adalah orang pertama yang membeli cengkih secara borongan di pulau ini. (Jacobs, 1971).
Nama “Makian” memperlihatkan sebuah bentuk buruk dari sebuah nama pribumi ‘Waikiong’ (de Clercq,1890). Orang Ternate dan Tidore menyebut pulau ‘Mara(h)’. Asal mula kedua nama tersebut tetap kabur, meskipun berdasarkan spekulasi kesejarahan (Coolhaas,1923). Secara historis pulau Makeang termasuk wilayah Maluku, pulau rempah-rempah yaitu Gilolo, Ternate, Tidore, Moti, Makeang dan Bacan (Valentijn, 1724). Hingga pertengahan abad ke-17, Makeang memainkan peranan paling penting dalam perdagangan rempah di Maluku. Terdapat beberapa bukti historis perdagangan awal dengan pedagang Taibencu (Cina) sebelum orang Jawa, Arab dan Eropa tersebar di wilayah Maluku. Tempat persinggahan dan pusat perdagangan pertama kali adalah pulau Makeang, karena penduduknya telah berbudaya, beradab dan luwes. Orang Taibencu adalah orang pertama yang membeli cengkih secara borongan di pulau ini. (Jacobs, 1971).
Menurut orang Portugis, pulau Makeang memiliki pelabuhan yang
terbaik yang merupakan tempat pertemuan pedagang-pedagang asing serta merupakan
pelabuhan transit yang penting dalam perdagangan rempah, dibandingkan dengan
pulau-pulau rempah lainnya. Makeang memproduksi cengkeh terbesar dan terbaik.
Rumphyus, bahkan menyebut Makeang sebagai “tanah moyang cengkeh” dan tanah
moyang ‘tjengkeh radja’. Masih menurut Pires, Makeang merupakan salah satu dari
3 pulau penting penyuplai makanan, selain Moti dan Tidore (Lucardie, 1980).
Meskipun terdapat karakter-karakter unggul pada awal masa kolonial, dan
barangkali sebagai akibat perselisihan terus menerus antara masyarakat bagian
Timur dan Barat (Coolhaas, 1977). Makeang tidak pernah memperoleh kekuatan dan
kekuasaan serta kecermelangan Kesultanan seperti Ternate dan Tidore. Makeang
selalu menjadi “korban” persaingan antara kesultanan-kesultanan di sekitarnya demi
supremasi di antara kekuatan-kekuatan kolonial karena kekayaan perdagangan
rempah Maluku. Hingga pendudukan terakhir Belanda, Makian tunduk pada penguasa
Ternate pada tahun 1608. Pada tahun 1655, Belanda yang memonopoli
rempah-rempah, mengakhiri kebudayaan cengkeh Makeang dengan memusnahkan semua
pohon rempah (Hongi-eksterpasi) di pulau tersebut.
Hanya sedikit yang diketahui tentang Makeang Barat dan Makeang
Timur, begitu juga denga hubungan kultural dengan pulau-pulau atau kelompok
lain selain Ternate. Menurut Kroniek van het Rijk Batjan (Kronik Kerajaan
Bacan), penguasa kuno Bacan yakin bahwa dirinya berasal dari bagian timur pulau
Makeang melalui pulau Kasirute, secara tidak langsung kronikel ini juga
menghubungkan sejarah dinasti Makeang Timur dengan sejarah Dinasti Misol dan
Waigeo (Raja Ampat), pulau Banggai (antara Sulawesi dan pulau Sula), Loloda
(Halmahera Barat Laut), dan Obi Siwa, Obi Lima di Seram (Coolhaas, 1926). Akan
tetapi kronikel ini sebagian menjadi sebuah jenis propaganda politik untuk menjustifikasi
klaim teritorial tertentu oleh Kesultanan Bacan. Yang juga diragukan adalah
dugaan bahwa bagian tenggara Makeang telah didiami sejak tahun 1609, (Robidee
van der Aa, 1872). Dugaan tersebut tidak sesuai dengan temuan Watuseke akan
bukti bahasa yang mengindikasikan bahwa masyarakat Makeang Timur adalah
penduduk pertama di pulau tersebut.
Jauh sebelum kedatangan bangsa Eropa (Portugis, Spanyol, Belanda
dan Inggris). Bangsawan lokal empat kerajaan besar di Maluku telah melakukan
aktifitas dagang bersama saudagar dari Arab, Cina, dan Jawa. Dalam aktifitas
jual-beli rempah-rempah (Toeti Heraty, 2010), salah satunya yaitu buah cengkeh
yang berasal dari Maluku (Paramita,1973). Hingga abad ke-16 produksi cengkeh
masih terbatas di daerah ini (Rumphius,1750). Dari sumber Cina, India, dan
Romawi kita mengetahui bahwa sejak paruh kedua millennium pertama sebelum
Masehi cengkeh diperdagangkan di ‘pasar dunia’. Kemudian pada abad ke-3 SM
cengkeh telah dikenal di Cina (Ch. Van. Fraassen, 1987).
Pada akhir abad ke-17, wilayah Gane dihuni oleh orang
alifuru/alfour, karena banyak penduduk aslinya telah dikembalikan untuk
mendiami kembali Moti dan Makeang setelah penaklukan Spanyol pada 1606. Gane
tercatat karena keberlimpahan pohon sagu dan pinang, namun tempat pentingnya
dalam lokasinya serta rute yang diambil oleh perompak Maba dan Patani. Orang
Gane dan Saketa mengakui otoritas Sangaji Makeang yang tinggal di pulau
Makeang. Pulau tersebut adalah wilayah terpenting bagi Kerajaan Ternate di
“pinggiran”. Ia digambarkan di awal abad ke-17 sebagai pulau terpadat dengan
panen cengkeh terbesar dan satu-satunya pelabuhan aman di Maluku. Sisi penting
Makeang di Maluku disebutkan oleh fakta bahwa di tahun 1518 satu dari surat
yang paling pertama dikirim dari Maluku pada raja Portugal adalah berasal dari
Raja Makeang, yang bernama Lebai Husain. Meskipun ini hanya merujuk pada
seorang penguasa merdeka di Makeang, ini tidak akan tetap dengan sumber-sumber
yang menggambarkan sebuah pulau dengan seluruh unsur pada sebuah kerajaan
sukses di Maluku. Dalam beberapa tradisi orang Makeang disebutkan di antara
yang pertama dari empat kerajaan Maluku, selain Ternate, Tidore, dan Moti
(Andya,1993).
Rumphius menyebutkan bahwa tak lama setelah kemunculan pertama
Portugis di tahun 1512, cengkeh dari Makeang dibawa ke Hoamoal dan Hitu,
semenanjung sebelah utara pulau Ambon. Pires mencatat di sekitar tahun 1515
bahwa cengkeh hanya tumbuh di Maluku, dimana dari situ cengkeh menuju Banda dan
Ambon. cengkeh-lah yang membuat orang Makeang beserta pulaunya direbut, dan
menguwasai sepenuhnya oleh kerajaan Ternate, berabad-abad lamanya. (Bandingkan
juga dengan (Van. Fraassen, 1987).
Sekitar tahun 1520, pulau Makeang dibagi antara kekuasaan Ternate
dan Tidore, dan beberapa tahu kemudian Tidore dipaksa menyerahkan klaimnya pada
Ternate (semasa penaklukan orang Makeang lebih memilih bergabung dengan
Kerajaan Tidore, yang lebih toleransi ketimbang Kerajaan Ternate). Pada 1606,
setelah penaklukan Spanyol atas Ternate, seluruh pulau Makeang diberikan pada
Tidore. Dua tahun kemudian Belanda membantu Ternate dalam penaklukan kembali
Makeang, dan pada 1648 klaim Ternate pada pulau tersebut yang didukung
oleh Belanda kembali di akui oleh kerajaan Ternate dan Bacan.
Sejak itu banyak di antara penduduk Makeang terpaksa menghuni
secara sementara, dan beberapa permanen, di pulau lainnya. Ketika beberapa
telah meninggalkan pulau (migrasi secara tradisional) untuk mengamankan diri
dari pergolakan politik yang terjadi antara Makeang, Ternate dan Tidore. Sebuah
catatan kelompok baru yang berasal dari tahun 1662 adalah seluruh populasi
pulau Kayoa berasal dari pulau Makeang. Ketidak stabilan politik adalah alasan
utama yang diberikan bagi pemukiman ulang (bukan karena letusan gunung
Makeang). Meskipun orang Makeang, telah melakukan migrasi keluar dari pulau
mereka, namun kelompok tersebut selalu menjaga identitasnya dan
menghubungkannya pada tanah airnya yang asli.
Pada 1662, pemukiman kembali di buka di Makeang setelah migrasi
diantara: distrik Ngofakiaha dengan 400 pria dan Ngofagita dengan 170 pria
(keduanya diperintah oleh Sangaji, sehingga mengindikasikan sisi pentingnya);
Sabaleh, Talapao, Tapasoho, Bobawa, Ngofabobawa, dan Tagona dengan total 349
pria (seluruhnya di bawah kimalaha); penduduk dari kayoa dan sekitarnya di
kepulauan Goraici dengan 160 pria. Penduduk Soma dan Tahane pergi untuk tinggal
di Ngofakiaha, dan secara bersamaan mereka memiliki 260 pria. Alasan dari
jumlah kecil tersebut adalah kehilangannya Tahane dari sebuah kora-kora dengan
banyak pria muda melawan Spanyol. Beberapa desa lainnya disebutkan memiliki 50
pria lainnya, yang membuat total keseluruhan penduduk pulau Makeang 1389 jiwa
pria (Wanita dan anak tidak dihitung karena data tersebut berasal dari data
pajak yang hanya diperuntukan untuk pria dewasa).
Walaupun pemukiman telah dibuka kembali namun orang Makeang sering
melakukan migrasi secara tradisional di pulau-pulau atau daratan yang terletak
di sekeliling Pulau Makeang. Pada umumnya mereka bermigrasi ke arah selatan
dengan titik terjauh di sekitar Labuha, Pulau Bacan. Meskipun demikian,
beberapa kelompok penduduk melakukan migrasi ke arah utara dan barat dengan
titik terjauh di Gane, Halmahera bagian selatan, dan Pulau Moti (G.R.E.
Lucardie, 1980).
Ikatan yang mencakup banyak pemukiman di pinggiran secara
bersamaan adalah persepsi bersama yang masuk pada keluarga Maluku yang
disucikan mitos. Demi kepentingan bangsa Eropa untuk memiliki serta menata
“kepulauan yang rapih” yang mudah dikontrol oleh penguasa. Ketiadaan berbagai
alasan yang lebih besar guna loyalitas membuat area ini jauh lebih mudah
berubah pendirian dalam hubungan mereka dengan Ternate daripada area lainnya
yang melihat diri mereka sendiri sebagai bagian dari sebuah keluarga
sebagaimana yang ditegaskan oleh mitos.
Potensi tantangan pada status sentral Ternate dari “pinggiran”
membuat beberapa raja yang dulunya penting bagi dirinya sendiri, serta
memainkan peran regional misalnya; Banggai, butung, dan Gilolo adalah contoh
dari kerajaan tersebut. Dalam urusan pemerintahan tradisional Ternate setelah
dikolonisasi oleh keluarga Tomagola dan tomaitu dari Fala Raha. Dengan
menghubungkan keluarga-keluarga berpengaruh di Ternate, wilayah-wilayah Ternate
dan akses pada sumber kekuasaan yang sama membuat mereka pesaingsecara alamiah bagi
dominasi sebagai sebuah pusat.
Sejak saat ini Makeang juga semakin tidak berarti. Pulau ini yang
dahulu begitu penting dalam perdagangan di Maluku tidak lagi ada maknanya.
Sejarahnya telah berakhir. Toh apa yang masih perlu disebutkan, sejarah dua
abad pulau itu, penebangan pohon dimulai sehingga akhirnya jumlah penduduknya
berkurang dan kehidupannya menjadi merana. Dengan ketidak stabilan
politik di Maluku (Ternate- Makeang) orang-orang Makeang telah bermigrasi dalam
jumlah besar menuju Halmahera dan pulau-pulau berdekatan lainnya sejak dulu.
Catatan-catan tua menyebutkan kehadiran orang Makian di Gane Galela, Bacan,
Obi, Morotai, Gane, Maba, dan Patani. Beberapa laporan yang ada mengenai
Halmahera dan pulau-pulau yang berdekatan memperlihatkan pada kita bahwa
kecenderungan migrasi telah berlangsung di antara orang Makeang.
Kini, wilayah utama migrasi orang Makeang ditunjukkan pada pulau
Moti dan Kepulauan Kayoa dan pulau Bacan serta bagian tenggara Halmahera.
Pada hakikatnya migrasi penduduk Makeang ke arah selatan merupakan salah satu
bagian dari tradisi tua mereka. Keberadaan Kesultanan Bacan, reruntuhan
keraton Kasiruta, keberadaan Orang Bajo, jaringan perdagangan cengkeh
Selat Malaka dan mitos 4 telur naga Bikucagala atau Biku Segara
dari abad ke-9 M memiliki keterkaitan dengan keberadaan penduduk Makeang,
terutama Makeang Timur. Akan tetapi migrasi yang bertujuan untuk perluasan
lahan terjadi sejak pertengahan abad ke-19 dengan daerah migrasi utama berada
di berbagai kepulauan seperti Bacan, Kayoa, Guraici, Lata-Lata, dan Pulau
Kasiruta.
Demikian sejarah Pulau makian
> > >
Tidak ada komentar:
Posting Komentar